Sumber: http://kamu-klik.blogspot.com/2011/12/gabung-komentar-fb-dengan-blog.html#ixzz1tOXva9gx

JADILAH ORANG YANG BERGUNA UNTUK SESAMA

Laman

Jumat, 30 Maret 2012

WASIAT UMAR BIN KHATTAB

Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Semasa Umar masih hidup Umar meninggalkan wasiat yaitu[rujukan?]:
Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah ALLAH SWT. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain ALLAH SWT.
Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh penyesalan.
Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.
[sunting]

Jumat, 16 Maret 2012

Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang

Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama wajah saya Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.

Merindukan Sosok Khalifah Umar bin Khattab r.a

Sebagai Umat Islam, pastilah kita mengenal sosoknya. Sosok yang begitu amat dikagumi kala itu, salah satu Amirul Mu’minin “Umar bin Khattab”. Walaupun kita tidak mengenal sosok beliau secara pribadi tetapi melalui membaca sejarah, kita dapat mengetahui bagaimana beliau bisa menjadi seorang Amirul Mu’minin yang begitu dicintai oleh rakyatnya.
Saat ini, kita hanya dapat mengenal sosok beliau melalui sejarah saja. Andai kita dapat ikut merasakan bagaimana rasanya kepemimpinan beliau, mungkin kita sebagai Umat Islam akan merasa bersedih. Karena hingga saat ini Indonesia belum mampu mempunyai seorang sosok “Pemimpin Pro Rakyat”.
Pemimpin Indonesia, masih sering memikirkan dirinya sendiri tak peduli dengan rakyatnya. Jauh berbeda dengan sosok Amirul Mu’minin “Umar bin Khatab”. Sebagai pengganti khalifah Abu Bakar, mestinya khalifah Umar mendapat gaji lebih banyak dari Abu Bakar, sebab wilayah kekhalifahan islam semakin luas, sehingga semakin banyak pula tugas dan kewajiban khalifah Umar, rakyatpun semakin makmur. Tetapi ia meminta penerimaan gajinya sama dengan khalifah Abu Bakar pendahulunya.
Para sahabat merasa iba dan prihatin atas sikap dan kesederhanaan khalifah Umar itu. Beberapa kali mereka mengusulkan agar khalifah umar mau menerima gaji yg sesuai dengan tanggung jawabnya, namun usulan itu selalu di tolaknya.
“Kenapa kalian memaksaku untuk menerima gaji yg melebihi dari kebutuhanku?” kata khalifah Umar. “Ketahuilah meskipun Rasulullah diampunkan dosanya yg telah lewat dan yg akan datang, namun beliau tetap memilih hidup melarat, tetapi tetap bersemangat dalam beribadah, apalagi aku?”. Itulah khalifah Umar bin Khattab yg terkenal dengan kezuhudanya. Meski dia sebagai kepala negara atau amirul mukminin, dia tak tergiur oleh gemerlapnya harta benda. Jangankan untuk korupsi, mengambil yg menjadi haknya sendiri saja ia enggan melakukannya.
Itulah sosok Umar bin Khatab yang tidak mau menerima gaji yang besar walaupun tanggung jawab yang beliau emban cukuplah besar. Berbeda sekali dengan para pemimpin kita saat ini, inginnya gaji besar tetapi tanggung jawab yang diemban cukup kecil.
Selain itu Umar bin Khatab adalah sosok seorang pemimpin yang tidak pernah mau melihat anaknya hidup berfoya-foya walaupun ayahnya adalah seorang pemimpin. Suatu hari Umar bin Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan kata-kata sebagai berikut: “Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, “Semoga Allah merahmati orang yang mengenali jati dirinya.”
Marilah kita lihat saat ini kehidupan anak-anak para pemimpin kita. Mereka bisa hidup enak dan berfoya-foya dengan segala fasilitas negara. Tanpa mereka sadari bahwa apa yang mereka gunakan adalah milik rakyat.
Umar bin Khatab juga merupakan seorang pemimpin yang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya dengan berani. Hal ini pernah terjadi ketika Umar bin Khattab r.a sedang berkhutbah,” Jangan memberikan emas kawin lebih dari 40 uqiyah (1240 gram). Barangsiapa melebihkannya maka kelebihannya akan kuserahkan ke baitul maal.” Dengan berani, seorang wanita menjawab,”Apakah yang dihalalkan Allah akan diharamkan oleh Umar? Bukankah Allah berfirman,……sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka sejumlah harta, maka janganlah kamu mengambil dari padanya sedikitpun………(An Nisaa’:20) Umar berkata,” Benar apa yang dikatakan wanita itu dan Umar salah.
Apakah saat ini kita pernah melihat pemimpin kita yang mau mengakui kesalahnnya tanpa pernah mau mengalahkan orang lain. Dengan besar hati dan legowo mau mengakui segala kesalahan yang telah dilakukannya.
Umar bin Khatab juga merupakan seorang pemimpin yang sangat peduli pada rakyatnya. Hal ini sangat berbeda dengan para pemimpin kita saat ini. Tak ada pemimpin yang peduli dengan rakyat sepedulinya Umar bin Khatab, beliau selalu meninjau rakyatnya dari rumah ke rumah tanpa diketahui oleh rakyatnya. Jika sekarang mana ada pemimpin yang mau seperti itu berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain untuk melihat saat ini rakyatnya sedang makan apa. Mereka tidak peduli sama sekali.
Inilah cerita tentang ibu yang memasak batu untuk menipu anak anaknya yang sedang kelaparan. Suatu malam Umar bersama Aslam salah seorang ajudannya menyamar untuk melakukan inspeksi keluar masuk kampung untuk melihat kondisi rakyatnya. Di salah satu sudut kampung terdengarlah rintihan pilu anak anak yang sedang menangis, dan di sana Umar menemukan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di tungkunya. “Wahai ibu anak anak mu kah yang sedang menangis itu? Apa yang terjadi dengan mereka?”
“Mereka adalah anak anakku yang sedang menangis karena kelaparan” jawab sang Ibu sambil meneruskan pekerjaannya memasak.
Setelah memperhatikan sekian lama, Umar dan Aslam keheranan karena masakan sang ibu tidak juga kunjung siap sementara tangisan anak anaknya semakin memilukan. “Wahai Ibu, apa yang engkau masak? Mengapa tidak juga kunjung siap untuk anak anakmu yang kelaparan?” . “Engkau lihatlah sendiri … “ dan alangkah terkejutnya Umar ketika melihat bahwa yang sedang di masak sang ibu adalah setumpuk batu. “Engkau memasak batu untuk anak anakmu?!!??”
“Inilah kejahatan pemerintahan Umar Bin Khattab …. “ rupanya sang ibu tidak mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya, “ … wahai orang asing, aku adalah seorang janda, suamiku syahid di dalam perang membela agama dan negara ini, tapi lihatlah apa yang telah dilakukan Umar, dia samasekali tidak peduli dengan kami, dia telah melupakan kami yang telah kehilangan kepala rumah tangga pencari nafkah. Hari ini kami tidak memiliki makanan sedikitpun, aku telah meminta anak anakku untuk berpuasa, dengan harapan saat berbuka aku bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan … tapi rupanya aku telah gagal mendapatkan uang .. memasak batu aku lakukan untuk mengalihkan perhatian anak anakku agar melupakan laparnya …. “
“ …. sungguh Umar Bin Khattab tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, dia hanya memikirkan dirinya sendiri”
Aslam sang ajudan hendak bergerak untuk menegur sang sang Ibu, hendak memperingatkan dengan siapa dia sedang berbicara saat ini. Tapi Umar segera melarangnya dan serta merta mengajaknya untuk pulang. Bukannya langsung beristirahat, Umar segera mengambil satu karung gandum dan dipikulnya sendiri untuk diberikan kepada sang Ibu.
Beratnya beban karung gandum membuat Umar berjalan terseok seok, nafasnya tersengah engah dan keringat mengalir deras di wajahnya. Aslam yang melihat ini segera berkata “ Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawa karung gandum itu …. “
Umar memandang Aslam sang ajudan “ … Wahai Aslam! Apakah engkau ingin menjerumuskan aku ke neraka? Hari ini mungkin saja engkau mau menggantikan aku memikul beban karung ini, tapi apakah engkau mau menggantikan aku untuk memikulnya di hari pembalasan kelak?”
Tak ada pemimpin jaman sekarang yang mau melakukan apa yang telah dilakukan oleh Umar? Jangankan menggendong sekarung gandum, buku agenda atau kertas catatan yang ringan saja pun akan meminta sang ajudan untuk membawakannya.
Apakah masih ada pemimpin seperti Umar yang merelakan tidur nyenyaknya hilang karena berusaha untuk melihat, mencari tahu dan berhadapan secara langsung dengan penderitaan rakyatnya? Dan bukannya hanya sekedar mendengar dari ‘ bisik bisik manis’ sang ajudan dan orang orang terdekat, atau sekedar laporan ABS (Asal Bapak Senang).
Umar bin Khatab merupakan seorang sosok yang sangat sederhana. Hal itu dapat dilihat ketika beliau kedatanggan beberapa utusan dari Kekaisaran Romawi ke kota Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khattab RA. Dalam benak mereka terbayanglah sosok Khalifah Umar bin Khattab RA yang akan mereka temui adalah seorang raja yang sedang duduk di atas singgasananya dalam sebuah istana yang megah dan mewah serta dikelilingi oleh para pengawal dan pasukan yang banyak. Karena mereka tidak mengetahui di mana istana Khalifah Umar, maka mereka bertanya kepada salah seorang yang mereka temui di jalan dan memintanya untuk menuntun mereka untuk menemui Khalifah Umar. Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang terdapat sebuah pohon kurma, lalu sang penunjuk jalan berkata : “Inilah Khalifah Umar pemimpin kami yang anda ingin temui.” Terperanjatlah para utusan itu karena yang mereka lihat adalah seseorang yang sedang tidur sendirian di bawah pohon kurma, hanya mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa seorangpun pengawal di sampingnya.
Coba lihat sekarang, Istana negara yang berencana mau mengganti pagar Istananya dengan dana yang mencapai milyaran rupiah, walaupun mendapat kritikan dari berbagai pihak. pemimpin kita juga memberikan berbagai alasannya juga.
Sangat menyedihkan memang, entah kapan Indonesia akan memiliki pemimpin yang pro pada rakyatnya. Tidak harus mirip atau menyerupai tetapi setidaknya adalah sedikit saja kemiripan seperti yang Umar bin Khatab miliki. Semoga suatu saat akan muncul seorang pemimpin Indonesia yang pro dengan rakyatnya. Amien

Rabu, 14 Maret 2012

Empat golongan manusia menurut Syekh Abdul Qadir Jailani

Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani, bahwa manusia itu dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
1. Manusia yang tidak mempunyai lisan dan hati, senang berbuat maksiat, menipu serta dungu. Berhati-hatilah terhadap mereka dan jangan berkumpul dengannya, karena mereka adalah orang-orang yang mendapat siksa.
2. Manusia yang mempunyai lisan, tapi tidak mempunyai hati. Ia suka membicarakan tentang hikmah atau ilmu, tapi tidak mau mengamalkannya. Ia mengajak manusia ke jalan Allah Swt. tapi ia sendiri justru lari dari-Nya. Jauhi mereka, agar kalian tidak terpengaruh dengan manisnya ucapannya, sehingga kalian terhindar dari panasnya kemaksiatan yang telah dilakukannya dan tidak akan terbunuh oleh kebusukan hatinya.
3. Manusia yang mempunyai hati, tapi tidak mempunyai ucapan (tidak pandai berkata-kata). Mereka adalah orang-orang yang beriman yang sengaja ditutupi oleh Allah Swt. dari makhluk-Nya, diperlihatkan kekurangannya, disinari hatinya, diberitahukan kepadanya akan bahaya berkumpul dengan sesama manusia dan kehinaan ucapan mereka. Mereka adalah golongan waliyullah (kekasih Allah) yang dipelihara dalam tirai Ilahi-Nya dan memiliki segala kebaikan. Maka berkumpullah dengan dia dan layanilah kebutuhannya, niscaya kamu juga akan dicintai oleh Allah Swt.
4. Manusia yang belajar, mengajar dan mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah Swt. memberikan ilmu-ilmu asing kepadanya dan melapangkan dadanya agar mudah dalam menerima ilmu. Maka takutlah untuk berbuat salah kepadanya, menjauhi serta meninggalkan segala nasihatnya.
Semoga kita semua tidak termasuk kepada golongan yang pertama dan yang kedua dan semoga pula kita dilindungi dari golongan seperti itu.

saya ingin diampuni allah swt

“Saya ingin diampuni Allah,” kata Abu Bakar r.a menyambut turunnya ayat: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan para Muhajirin pada jalan Allah dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tak ingin Allah mengampuni kamu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24: 22)
Ayat di atas menjadi teguran untuk Abu Bakar. Ia memang pernah bersumpah untuk tak memberikan bantuan kepada Misthah yang selama ini kerap ditolongnya. Sebenarnya, Misthah masih termasuk keluarga Abu Bakar, yaitu putra saudara perempuan ayahnya. Namun demikian, Abu Bakar sangat marah kepadanya, karena Misthah ikut menyebarkan kabar bohong menyangkut ‘Aisyah, putrinya dan sekaligus istri Nabi Saw. Kabar yang disebarkan Misthah itu bisa menghancurkan nama baik keluarga Abu Bakar.
Mendengar kabar itu, Nabi Saw pun gundah dan bimbang. Beliau mencari-cari informasi tentang kabar tersebut. Kegundahan Nabi reda setelah turun beberapa ayat dalam Surah an-Nur (24) yang menjelaskan kebohongan berita itu. Setelah jelas status kabar itu, orang-orang mencari sumber beritanya. Tersebutlah Misthah menjadi salah satu penyebarnya. Karena itu Abu Bakar marah dan keluarlah sumpah itu.
Dalam ayat di atas, Allah menegur Abu Bakar dan semua orang yang mempunyai kelebihan agar memberi bantuan kepada orang-orang yang miskin, kaum Muhajirin (orang yang pindah dari Mekah menuju ke Madinah atau tempat yang lain) dan kepada siapa saja memerlukan uluran tangan. Janganlah mereka bersumpah untuk tidak memberi bantuan karena orang yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan atau karena ketersinggungan pribadi. Hendaknya, orang yang berkelebihan itu berhati besar dan sebaiknya mereka memaafkan dan berlapang dada.
Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar memaafkan Misthah, ia membatalkan sumpahnya, dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah, sebagaimana sediakala.